Perkembangan Ilmu Politik
Apabila
ilmu politik dipandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu
sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus dan ruang lingkup yang sudah jelas
maka dapat dikatakan bahwa ilmu politik masih muda usianya karena baru lahir
pada akhir abad ke-19.
Tetapi
apabila ilmu politik ditinjau dalam rangka yang lebih luas, yaitu sebagai
pembahasan secara rasionil dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik
maka ilmu politik dapat dikatakan jauh lebih tua umurnya, malahan sering
dinamakan “ilmu sosial tertua” di dunia.
Pada
taraf perkembangan itu ilmu politik banyak bersandar pada sejarah dan filsafat
:
- Yunani kuno (pemikiran mengenai negara sudah dimulai pada tahun 450 SM, seperti terbukti dalam karya-karya ahli sejarah Herodutus atau filsuf-filsuf seperti : Plato dan Aristoteles.)
- Asia (ada beberapa pusat kebudayaan, antara lain : India dan China yang telah mewariskan tulisan-tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul antara lain dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal dari masa kira-kira 500 SM. Di antara Filsuf China yang terkenal, seperti : Confucius atau Kung Fu Tzu (500 SM), Mencius (350 SM) dan mazhab Legalists (antara lain Shang Yang 350 SM)
Di Indonesia
kita mendapati beberapa karya tulisan yang membahas masalah sejarah dan
kenegaraan, seperti : Negara Kertagama (yang ditulis pada masa Majapahit
sekitar abad ke-13 dan 15 M) dan Babad Tanah Jawi. Namun sayang di
negara-negara Asia tersebut kesusastraan yang mencakup bahasan politik mulai akhir
abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang
dibawa oleh negara-negara, seperti : Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan
Belanda dalam rangka imperialisme.
PENGERTIAN OBYEK, DAN KARAKTERISTIK ILMU POLITIK
PENGERTIAN OBYEK, DAN KARAKTERISTIK ILMU POLITIK
Istilah politik (politics) sering dikaitan dengan bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik ataupun negara yang menyangkut proses penentuan tujuan maupun dalam melaksanakan tujuan tersebut. Di samping itu juga menyangkut pengambilan keputusan (decisionmaking) tentang apakah yang menjadi tujuan sistem politik yang menyangkut seleksi antara beberapa alternative serta penyusunan untuk membuat skala prioritas dalam menentukan tujuan-tujuan itu.
Namun menurut Brendan O’Leary (2000) ilmu politik merupakan disiplin akademis, dikhususkan pada penggambaran, penjelasan, analisis dan penilaian yang sistematis mengenai politik dan kekuasaan. Selanjutnya dia mengemukakan mungkin lebih tepat diberi label “politikologi”, sebagaimana sesungguhnya hal ini terjadi di negara-negara Eropa, selain dikarenakan para praktisinya menolak gagasan bahwa disiplin mereka adalah seperti disiplin ilmu-ilmu alam dan juga karena disiplin itu tidak mempunyai satu bangunan teori atau paradigma yang padu. Tentu saja banyak teoretisi lainnya yang menentang pendapat tersebut. Dalam tulisan ini penulis tidak akan memperpanjang kontroversi ilmu politik tersebut.
Untuk memahami lebih jauh apa itu
arti ; ilmu politik; sebetulnya sangat
tergantung pada dari dimensi apa ia melihatnya. Bagi kaum institusionalis atau institutional
approach seperti
Roger F. Soltau (1961: 4), mengatakan
Roger F. Soltau (1961: 4), mengatakan
Political science is the study of the state, its aims and purposes...
the institutions by which these are going to be realized, its relations with is
individual members,and other states (Ilmu politik adalah kajaian tentang negara,
tujuan-tujuan negara, dan lembaga lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan
itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara
lain).
Sedangkan J. Barents (1965: 23)
mengemukakan:
De wetenschap der politiek is de wetenschap die het leven van de staat bestudeert... een maatschappelijk leven... waarvan de staat een onderdeel vormnt. Aan het onderzoek van die staten, zoals ze werken, is de wetenschap der politiek gewijd”
( Ilmu politik adalah ilmu tentang kehidupan
negara... yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat; ilmu politik mempelajari
negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya). Berbeda dengan kelompok pendekatan
kekuasaan (power approach),
Seperti Harold Laswel, W.A. Robson, maupun Deliar Noer. Laswel (1950) mengemukakan:
Seperti Harold Laswel, W.A. Robson, maupun Deliar Noer. Laswel (1950) mengemukakan:
Mendefinisikan ilmu politik sebagai disiplin empiris pengkajian tentang pembentukan dan pembagian kekuasaan, serta tindakan politik seperti yang ditampilkan seseorang dalam perspektif-perspktif keKuasaan.
Kemudian Robson (1954) mengemukakan:
Political science is concerned with
the study of power in society... its nature, basis, processes, scope and
results. The focus of interest of the political scientist... centers on the
struggle to gain or retain power, to exercise power or influence over others,
or to resist that .
.
(Ilmu politik adalah ilmu yang memfokuskan dalam masyarakat)
Yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasilnya. Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan , melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu).
Kemudian seoang ahli ilmu politik
dalam negeri kita Deliar Noer mengemukakan:
Ilmu politik memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah kekuasaan dalam
kehidupan bersama atau masyarakat (Noer, 1965: 56).
Berbeda dengan mereka kelompok yang
menggunakan pendekatan Pengambilan keputusan (decisionmaking approach) seperti
Joyce Mitchell maupun Karl W. Deutsch. Mitchell (1969: 4-5) mengemukakan: “
Politics is collective
decisionmaking or
the making f public policies for an
entire society (Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan
kebijakan public
untuk suatu keseluruhan masyarakat).
Kemudian Deutsch (1970: 5) mengatakan:
“Politics is the making of decision
by publics means”
(Politik adalah pembuatan keputusan
oleh alat-alat publik).
Selanjutnya pengertian “ilmu
politik” akan berbeda pula menurut kelompok yang menggunakan pendekatan (public
policy / belied approach), seperti Hogerwerf maupun David Easton. Hogerwerf
(1972) mengemukakan; Objek dari ilmu politik adalah kebijasanaan pemerintah,
proses terbentuknya,serta akibat-akibatnya.
Pengertian kebijaksanaan di sini
adalah membangun secara terarah melalui penggunaan kekuasaan. Pendapat yang
hampir sama juga dikemukakan oleh Easton
(1971) yang menyatakan bahwa ilmu
politik “study of the making of public policy
” (studi tentang terbentuknya
kebijaksanaan umum).
Penjelasan yang berbeda juga datang
dari kelompok ahli ilmu politik yang menggunakan “pendekatan pembagian” (distribution
approach) yang dikemukakan Harold Laswel maupun David Easton. Laswel
mengemukakan bahwa “Politik adalah masalah siapa mendapat apa; kapan dan
bagaimana?” (Laswel, 1972). Sedangkan menurut Easton, “Sistem politik adalah
keseluruhan dari interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara
autoritatif (berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat (1965).
Sedangkan menurut Robert Dhal (1994)
bahwa ilmu politik tentang hubungan manusia yang kokoh, dan melibatkan secara
cukup mencolok , kendali, pengaruh, kekuasaan dan kewenangan.
Ruang lingkup disiplin ilmu politik
kontemporer sangat luas.
Menurut O’leary (2000: 794)
sub-bidang utama dari penyelidikan ilmu politik meliputi:
(1) pemikiran politik;
(1) pemikiran politik;
(2) teori politik
(3) sejarah politik
(4) analisis politik perbandingan
(5) administrasipublic
(3) sejarah politik
(4) analisis politik perbandingan
(5) administrasipublic
(6) kebijakan public
(7) sosiologi politik
(7) sosiologi politik
(8) hubungan internasional
(9) teori-teori kenegaraan.
(9) teori-teori kenegaraan.
1. Pemikiran Politik
: Sub-bidang ini merupakan akumulasi
bangunan teks dan tulisan para filsuf besar yang membingkai pendidikan intelektual
banyak mahasiswa ilmu politik. Di antaranya karya-karya besar para pemikir
sejak zaman Plato dan
Aristoteles, zaman pertengahan dan
awal modern karya-karya Aquinas, Agustine,
Hobbes, Locke, Rousseau, dan
Montesquieu, serta akhirnya buku-buku para penulis.
SIFAT DAN ARTI POLITIK 228 ROWLAND B. F. PASARIBU moden seperti Kant, Hegel, Marx, Tocqueville dan John Stuart Mill (O’Leary, 2000: 788).
Dalam perkembangannya, norma
tersebut banyak dikritik berulang kali karena dianggap bersifat
“etnosentrisme”, mengingat mengabaikan tradisi filsafat non-Barat yang sudah
berkiprah sebelum dan bersamaan dengan peradaban Barat serta bersifat patriarchal
(Okin,1980; Pateman; 1988). Oleh karena itu kelompok yang menolak norma
tersebut berangkat dari suatu asumsi bahwa suatu sain yang matang seharusnya
melampaui asal-usulnya, dan karenanya bahwa kajian pemikiran politik harus
diserahkan kepada para ahli sejarah.
Memang para penafsir pemikiran politik selalu punya alasan yang berbeda dalam hal memberikan perhatian yang rinci terhadap teks-teksklasik. Sebagian berpendapat bahwa ilmu-ilmu klasik menyimpan kebenaran yang permanen kendati mereka bereda pendapat dengan penulis-penulis tertentu. Dan inilah tugas pendidik untuk
Memang para penafsir pemikiran politik selalu punya alasan yang berbeda dalam hal memberikan perhatian yang rinci terhadap teks-teksklasik. Sebagian berpendapat bahwa ilmu-ilmu klasik menyimpan kebenaran yang permanen kendati mereka bereda pendapat dengan penulis-penulis tertentu. Dan inilah tugas pendidik untuk
meneruskan kebenaran-kebenaran ini
kepada generasi selanjutnya. Kelompok ini.
Contoh:
Leo Strauss yang bersikukuh bahwa ilmu-ilmu klasik mengandung kebenaran-kebenaran abadi tetapi bahwa semua itu hanya bisa diakses oleh kalangan elite yang berperadaban (O’Leary, 2000).
Contoh:
Leo Strauss yang bersikukuh bahwa ilmu-ilmu klasik mengandung kebenaran-kebenaran abadi tetapi bahwa semua itu hanya bisa diakses oleh kalangan elite yang berperadaban (O’Leary, 2000).
Namun sebaliknya para ahli sejarah
pemikiran politik walaupun sependapat bahwa ilmu klasik menyampaikan
persoalan-persoalan yang tidak mengenal zaman, akan tetapi norma itu lebih
penting untuk pertanyakan yang dimunculkannya dari pada untuk menemukan
jawaban-jawaban yang diberikannya. Sebagai contoh;
“akankah manusia-manusia rasional
mengenai sifat negara sependapat untuk mendirikan suatu negara, dan apabila
setuju, lalu tipe yang bagaimana?” Pertanyaan tersebut akan membantu
memperjelas konsepsi sifat manusia yang diasumsikan dalam pemikiran politik
serta serta sifat kewajiban politik, legitimasi politik dan negara.
Bahkan menurut Quentin Skinner, bahwa ilmu klasik sebenarnya bukan tidak kenal zaman, melainkan merupakan teks yang ditujukan kepada orang-orang yang sezaman dengan penulisnya, dan para penulis tersebut terlibat dalam argumen-argumen politik tertentu yang relevan dengan jaman mereka sendiri (Skinner: 1985; 4-20).
Bagi mereka tugas pemikiran politik adalah untuk menemukan makna dan konteks yang asli dari wacana klasik, seringkali dengan cara memfokuskan pada para penulis yang terlupakan dan dimarjinalkan. Pendekatan kontektual dan histories dikritik karena memberikan diskontinuitas radikal dalam makna dan akses abilitas teks, dan karena menyiratkan bahwa kita harus melakukan hal yang mustahil menjadi orang –orang sezaman dengan para pengarang dari teks besar itu guna memahami semuanya.
Bahkan menurut Quentin Skinner, bahwa ilmu klasik sebenarnya bukan tidak kenal zaman, melainkan merupakan teks yang ditujukan kepada orang-orang yang sezaman dengan penulisnya, dan para penulis tersebut terlibat dalam argumen-argumen politik tertentu yang relevan dengan jaman mereka sendiri (Skinner: 1985; 4-20).
Bagi mereka tugas pemikiran politik adalah untuk menemukan makna dan konteks yang asli dari wacana klasik, seringkali dengan cara memfokuskan pada para penulis yang terlupakan dan dimarjinalkan. Pendekatan kontektual dan histories dikritik karena memberikan diskontinuitas radikal dalam makna dan akses abilitas teks, dan karena menyiratkan bahwa kita harus melakukan hal yang mustahil menjadi orang –orang sezaman dengan para pengarang dari teks besar itu guna memahami semuanya.
Terlebih lagi pendekatan ini menjadi
korban oleh perbuatan sendiri: para kritikus bertanya:
“Kontroversi politik kontemporer apa yang sedang disampaikan oleh para ahli sejarah ketika mereka menawarkan bacaan-bacaan teks yang otoritatif?
“Kontroversi politik kontemporer apa yang sedang disampaikan oleh para ahli sejarah ketika mereka menawarkan bacaan-bacaan teks yang otoritatif?
2.
Teori Politik
: Teori politik merupakan “enterprise”
dan jika ditelusuri akar-akarnya mempunyai silsilah yang panjang serta istimewa
(Miler, 2000).
Ketika para pendahulu berhenti
memandang institusi-institusi sosial dan politik mereka hanya karena
dikeramatkan oleh tradisi, dan mulai bertanya mengapa mereka mengambil bentuk
yang mereka lakukan, dan apakah mereka mungkin diperbaiki atau tidak, teori
politik lahir.
Ilmu Politik Sebagai Ilmu Pengetahuan
Umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu
eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum
umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris (berdasarkan
pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari
penelitian ilmiah. Kalau definisi yang tersebut di atas dipakai sebagai patokan
maka ilmu politik serta ilmu sosial lainnya tidak / belum memenuhi syarat. Oleh
karena itu sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu.
Mengapa demikian? Karena objek yang
diteliti adalah manusia dan manusia adalah makhluk yang kreatif yang selalu
menemukan akal baru yang belum pernah diramalkan dan malah tidak dapat
diramalkan. Para Sarjana Ilmu Sosial pada mulanya cenderung untuk mengemukakan
definisi yang lebih umum sifatnya, seperti yang terlihat pada
pertemuan-pertemuan sarjana ilmu politik yang diadakan di Paris tahun 1948.
Mereka
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah keseluruhan dari pengetahuan yang
terkoordinasi mengenal pokok pemikiran tertentu ( the sum of coordinated
knowledge relative to determine subject)
Definisi
yang serupa pernah dikemukakan oleh seorang ahli Belanda yang mengatakan “Ilmu
adalah pengetahuan yang tersusun, sedangkan pengetahuan adalah pengamatan yang
disusun secara sistematis”.
Akan
tetapi ternyata bahwa banyak sarjana ilmu politik tidak puas dengan perumusan
yang luas ini, oleh karena tidak mendorong para ahli untuk mengembangkan metode
ilmiah. Dalam proses politik untuk dijadikan dasar bagi penyusun generalisasi,
diharapkan oleh mereka agar ilmu politik menggunakan cara-cara baru untuk
meneliti gejala-gejala dan peristiwa politik secara lebih sistematis,
bersandarkan pengalaman-pengalaman empiris dengan menggunakan kerangka teoritis
yang terperinci dan ketat. Pendekatan baru ini terkenal dengan nama “pendekatan
tingkah laku / behavioral approach”
Pendekatan
tingkah laku ini timbul dalam masa sesudah perang dunia II, terutama dalam
dekade 50-an sebagai gerakan pembaruan yang ingin meningkatkan mutu ilmu
politik. Gerakan ini terpengaruh oleh karya-karya sarjana Sosiologi Max Weber
dan Talcott Parsons di samping penemuan-penemuan di bidang psikologi. Sarjana
ilmu politik yang terkenal karena pendektan tingkah laku politik ini ialah
Gabriel A. Almond (structural functional analysis), David Easton (general
system analysis), Karl W. Deustch (communication theory), David Truman dan
Robert Dahl.
Salah
satu pemikiran pokok dari para pelopor “pendekatan tingkah laku” adalah bahwa
tingkah laku politik lebih menjadi fokus daripada lembaga-lembaga politik /
kekuasaan / keyakinan politik. Konsep-konsep pokok dari kaum behavioralis dapat
disimpulkan sebagai berikut :
- Tingkah laku politik memperlihatkan keteraturan (regularities) yang dapat dirumuskan dalam generalisasi-generalisasi.
- Generalisasi-generalisasi ini pada asasnya harus dibuktikan kebenarannya dengan menunjuk pada tingkah laku yang relevan.
- Untuk mengumpulkan dan menafsirkan data diperlukan teknik penelitian yang cermat.
- Untuk mencapai kecermatan dalam penelitina diperlukan pengukuran dan kwantifikasi.
- Dalam membuat analisa politik nilai-nilai pribadi si peneliti sedapat mungkin tidak berperan (value free).
- Penelitian politik mempunyai sifat terbuka terhadap konsep-konsep, teori dan ilmu sosial lainnya. Dalam proses interaksi dengan ilmu sosial lainnya dimasukkan istilah baru, seperti : sistem politik, fungsi, peranan, struktur, budaya politik dan sosialisasi politik di samping istilah lama, seperti : negara, kekuasaan, jabatan, institut, pendapat umum dan pendidikan kewarganegaraan.
Pendekatan
tingkah laku mempunyai beberapa keuntungan, seperti : memberi kesempatan untuk
mempelajari kegiatan dan susunan politik di beberapa negara yang berbeda
sejarah perkembangannya, latar belakang kebudayaan dan ideologi, dengan
mempelajari bermacam-macam mekanisme yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu
yang memang merupakan tujuan dari setiap kegiatan politik di mana pun terjadi.
Perbedaan
antara kaum tradisonalis dan behavioralis dapat dirumuskan sebagai berikut :
Kaum
tradisionalis menekankan :
- Nilai dan norma-norma
- Filsafat
- Ilmu terapan
- Historis yuridis
- Tidak kwantitatif
Kaum
behavioralis menekankan :
- Fakta
- Penelitian empiria
- Ilmu murni
- Sosiologis – psikologis
- Kwantitatif
Timbulnya
“revolusi post behavioralisme” timbul di Amerika pada pertengahan dekade 60-an
dan mecapai puncak pada akhir dekade 60 ketika pengaruh berlangsungnya perang
Vietnam dan kemajuan-kenajuan teknologi, antara lain : di bidang persenjataan
dan diskriminasi ras melahirkan gejolak-gejolak sosial yang luas. Gerakan
protes ini dipengaruhi oleh tulisan-tulisan cendikiawan, seperti : Herbert
Marcuse, C. Wright Mills, Jean Paul Sartre dan banyak dukungan di kampus-kampus
universitas. Reaksi dari kelompok ini berbeda daripada kelompok tradisonil :
yang pertama lebih memandang masa depan dan kedua lebih memandang ke masa
lampau.
Reaksi
post behavioralisme terutama ditujukan kepada usaha untuk merubah penelitian
dan pendidikan ilmu politik menjadi suatu ilmu pengetahuan yang murni, sesuai
dengan pola ilmu eksakta. Pokok-pokok dapat diuraikan sebagai berikut :
- Dalam usaha mengadakan penelitian yang empiris dan kwantitatif ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan terhadap masalah sosial yang dihadapi. Padahal relevan dianggap lebih penting daripada penelitian yang cermat.
- Karena penelitian terlalu bersifat abstrak, ilmu politik kehilangan kontak dengan realitas-realitas sosial. Padahal ilmu politik harus melibatkan diri dalam usaha mengatasi krisis-krisis yang dihadapi manusia.
- Penelitian mengenai nilai-nilai harus merupakan tugas ilmu politik.
- Para cendikiawan mempunyai
tugas yang historis dan unik untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi
masalah-masalah sosial. Pengetahuan membawa tanggung jawab untuk bertindak
harus “engage” / “commited” untuk mencari jalan keluar dari krisis yang
dihadapi.
Definisi Ilmu Politik
Politik
adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut
proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan
itu.
Politik
selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan
pribadi seseorang. Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok
termasuk partai politik dan kegiatan individu.
Unsur
yang diperlukan sebagai konsep pokok yang dipakai untuk meneropong unsur-unsur
lainnya, yaitu :
- Negara (suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya)
- Kekuasaan (kemampuan seseorang / kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang / kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku)
- Pengambilan keputusan (Keputusan adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif ; Pengambilan keputusan adalah menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu terjadi)
- Kebijaksanaan umum (Kebijaksaan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku / kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut)
- Pembagian atau alokasi (pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai dalam masyarakat)
Sarjana-sarjana
yang menekankan negara sebagai inti dari politik memusatkan perhatiannya pada
lembaga-lembaga kenegaraan serta bentuk formilnya. Definisi ini bersifat
tradisionil dan agak sempit ruang lingkupnya. Pendekatan ini dinamakan
pendekatan institusionil.
Definisi
ilmu politik menurut beberapa tokoh :
- Roger F. Soltau dalam introduction to politics (ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan tersebut, hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lain)
- J. Barents dalam Ilmu Politika
(ilmu politik adalah mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat ; ilmu politik mempelajari negara-negara itu
melakukan tugas-tugasnya)
Bidang-bidang Ilmu Politik
Dalam
Contemporary Political Science, ilmu politik dibagi ke dalam 4 bidang, yaitu :
- Teori politik : teori politik, sejarah perkembangan ide-ide politik.
- Lembaga-lembaga politik : UUD, Pemerintah nasional, Pemerintah daerah dan lokal, Fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintah, Perbandingan lembaga-lembaga politik.
- Partai-partai, Golongan dan Pendapat Umum : Partai politik, Golongan dan Asosiasi, Partisipasi warga negara dalam pemerintah dan administrasi, Pendapat umum.
- Hubungan internasional : Politik internasional, Organisasi dan administrasi internasional, Hukum internasional.
Perkembangan
ilmu politik yang tercermin dalam berbagai konfrensi ilmiah :
- Acara Kongres VII International Political Science Association tahun 1967 di Brussel yang membicarakan :
- Metode-metode kwantitatif dan metematis dalam ilmu politik.
- Biologi dan ilmu politik.
- Masalah pangan dan ilmu politik.
- Masalah pemuda dan politik.
- Model-model dan studi perbandingan sekitar Nation Building.
- Acara American Political Science Association tahun 1970 di Los Angeles yang membicarakan :
- Data dan analisa (penggunaan komputer dalam kegiatan penelitian)
- Pembangunan politik (kehidupan politik di negara-negara baru)
- Tingkah laku badan legislatif (analisa sikap dan peranan anggota-anggota panitia-panitia kecil dalam badan-badan perwakilan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar