HARTA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
`
Dalam perspektif Islam kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah. Pembahasan konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku konsumen dari kerangka maqasid syari’ah. Tujuan syariah harus dapat menentukan tujuan perilaku konsumen dalam Islam. Tujuan syari’ah Islam adalah tercapainya kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu, semua barang dan jasa yang memiliki masalah akan dikatakan menjadi kebutuhan manusia. konsep maslahah sangat tepat untuk diterapkan. Menurut Shatibi masalah adalah pemilikan atau kekuatan barang atau jasa yang mengandung elemen-elemen dasar dasar dan tujuan kehidupan umat manusia didunia ini. Shatibi membedakan maslahah menjadi tiga, yaitu : kebutuhan, pelengkap dan perbaikan. Khallaf memberikan penjelasan mengenai maslahah sebagai berikut, bahwa tujuan umum syar’iah dalam mensyari’atkan hukum ialah terwujudnya kemaslahatan umum dalam kehidupan, mendapatkan keuntungan dan menghindari bahaya. Karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat daruriyyah, hajiyah, dan tahsiniyyah telah terpenuhi, berarti telah nyata kemaslahatan mereka seorang ahli hukum yang muslim, tentunya mensyariatkan hukum dalam berbagai sektor kegiatan manusia untuk merealisasikan pokok-pokok daruriyyah, hajiyah dan tahsiniyyah bagi perorangan dan masyarakat.
Dalam perspektif Islam kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah. Pembahasan konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku konsumen dari kerangka maqasid syari’ah. Tujuan syariah harus dapat menentukan tujuan perilaku konsumen dalam Islam. Tujuan syari’ah Islam adalah tercapainya kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu, semua barang dan jasa yang memiliki masalah akan dikatakan menjadi kebutuhan manusia. konsep maslahah sangat tepat untuk diterapkan. Menurut Shatibi masalah adalah pemilikan atau kekuatan barang atau jasa yang mengandung elemen-elemen dasar dasar dan tujuan kehidupan umat manusia didunia ini. Shatibi membedakan maslahah menjadi tiga, yaitu : kebutuhan, pelengkap dan perbaikan. Khallaf memberikan penjelasan mengenai maslahah sebagai berikut, bahwa tujuan umum syar’iah dalam mensyari’atkan hukum ialah terwujudnya kemaslahatan umum dalam kehidupan, mendapatkan keuntungan dan menghindari bahaya. Karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat daruriyyah, hajiyah, dan tahsiniyyah telah terpenuhi, berarti telah nyata kemaslahatan mereka seorang ahli hukum yang muslim, tentunya mensyariatkan hukum dalam berbagai sektor kegiatan manusia untuk merealisasikan pokok-pokok daruriyyah, hajiyah dan tahsiniyyah bagi perorangan dan masyarakat.
Daruriyyah,
yaitu sesuatu yang wajib adanya yang menjadi pokok kebutuhan hidup untuk
menegaskan kemaslahatan manusia. Hal- hal yang bersifat darury bagi manusia
dalam pengertian ini berpangkal pada pemeliharaan lima hal, yaitu : agama,
jiwa, akal, kehormatan, dan harta.
Hajiyah, ialah
suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan, lapang
dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan kehidupan. Faktor eksternal
manusia dalam pengertian ini berpangkal pada tujuan menghilangkan kesulitan dan
beban hidup, sehingga memudahkan mereka dalam merealisasi tata cara pergaulan,
perubahan jaman dan menempuh kehidupan. Tahsiniyyah, ialah sesuatu yang
diperlukan oleh normal atau tatanan hidup, serta berperilaku menurut jalan yang
lurus. Hal yang bersifat tahsiniyyah berpangkal dari tradisi yang baik dan
segala tujuan perikehidupan manusia menurut jalan yang paling baik.
Secara logika
dapat dipastikan apa-apa yang diciptakan Allah Swt untuk manusia pastilah
mencukupi untuk seluruh manusia. Persoalan kepemilikan terjadi ketika manusia
berkumpul membentuk suatu komunitas dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan
akan kelangsungan hidupnya. Dalam perjalanan selanjutnya dijumpai ada sekelompok
manusia yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya namun tidak sedikit pula ada
kelompok manusia lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Disinilah
kemudian urgensitas pembahasan konsep kepemilikan ini agar benar-benar dapat
menjadi jawaban bagaimana seharusnya pengaturan kepemilikan terhadap segala
yang sudah dianugerahkan oleh Allah Swt dapat memenuhi kebutuhan hidup seluruh
manusia secara adil.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Harta Dalam
Persfektif Ekonomi Islam?
2. Apa Saja Jenis Pembagian Harta?
3. Bagaiman Jenis Kepemilikan Dalam Islam?
4. Bagaimana Pemanfaatan dan Pengembangan Kepemilikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Harta Dalam Persfektif Ekonomi Islam
Islam merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang mengatur semua aspek, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan yang bersifat spritual.[1][1] Firman Allah dalam Qs. Al-maidah ayat 3. Yang artinya “ Pada hari ini telah ku- sempurnakan untuk kamu agamu, dan telah ku- ucapkan kepadamu nikmat-ku, dan telah ku- ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Dalam firman Allah SWT tersebut dijelaskan jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik yang bersifat material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami, sebagai agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah.
Ekonomi Islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi logis dari
kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan
komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan
keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal,
seorang muslim yang menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain
ia juga melakukan transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber
dayanya di alam raya ini. Allah Swt mempersilahkan manusia untuk
memanfaatkannya.
Dan harta merupakan salah satu
kebutuhan primer dalam kehidupan.[2][2] Tidak ada
manusia yang tidak membutuhkan harta, dalam Al- Qur’an, kata mal (harta)
disebutkan dalam 90 ayat lebih. Sedangkan di dalam hadits Rasulullah, kata
harta banyak sekali disebutkan tidak terhitung jumlahnya. Allah Swt menjadikan
harta benda sebagai salah satu di antara dua perhiasan kehidupan dunia. Allah
Swt. berfirman yang artinya :
“ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.”
( QS. Al – Kahfi [18] : 46 ).
Kata harta dalam istilah ahli fikih berarti, “segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan sebagaimana
mestinya.”
B. Jenis Pembagian Harta
·
Harta benda dibagi menjadi dua kategori
:
1. Pertama, harta berbentuk benda yaitu
segala sesuatu yang berbentuk materi yang dapat dirasakan oleh indera, seperti
mobil dan lain sebagainya.
2. Kedua, harta berbentuk manfaat, yaitu
faedah yang diperoleh dari suatu benda.
·
Harta juga dibagi menjadi beberapa
bagian sesuai dengan asumsi berikut ini :
Pertama : Perlindungan Syara’
Harta yang
bernilai
Yaitu harta yang memiliki harga. Orang yang membuat harta jenis ini jika
rusak harus menggantinya, apabila digunakan dengan cara yang tidak sebagaimana
mestinya. Harta ini dapat dikategorikan sebagai harta bernilai yang berdasarkan
dua ketentuan.
Pertama, harta yang merupakan hasil usaha dan bisa dimiliki. Kedua, harta
yang bisa dimanfaatkan menurut syara’ dalam keadaan lapang dan tidak mendesak,
seperti uang, rumah, dan sebagainya.[3][3]
Harta yang
tidak bernilai
Yaitu harta yang tidak memenuhi salah satu dari dua kriteria di atas.
Seperti ikan di dalam air laut, semua ikan yang ada di dalam lautan bukan hak
milik siapapun. Demikian pula dengan minuman keras dan babi, kedua jenis harta
ini tidak termasuk harta yang bernilai bagi seorang muslim. Karena seorang
muslim dilarang untuk memanfaatkannya.
Kedua : Harta yang Bergerak dan Tidak Bergerak
Harta yang
tidak bergerak
Yaitu semua jenis harta yang tidak bisa dipindahkan dari suatu tempat ke tempat
yang lain. Seperti tanah, bangunan, dan yang sejenisnya.
Harta yang
bergerak
Yaitu semua harta yang bisa dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang
lain. Seperti mobil, perabotan rumah tangga, dan yang sejenisnya.
Ketiga : Harta yang memiliki Kesamaan
Harta yang
serupa
Yaitu jenis harta yang ada padanannya di pasar, sedikitpun tidak ada
perbedaannya. Seperti beras, kurma, dan yang sejenisnya.
Harta yang
tidak serupa
Yaitu harta yang pada dasarnya tidak ada padanannya. Seperti sebuah permata
langka. Atau harta yang mempunyai padanan, tetapi terdapat perbedaan dalam
memperlakukannya. Seperti hewan, pohon, dan sejenisnya.
Harta yang
konsumtif
Yaitu semua harta akan habis ketika dimanfaatkan. Seperti makanan, minuman,
dan yang sejenisnya.
Harta yang
tidak konsumtif
Yaitu harta yang dapat dimanfaatkan sementara bahannya tetap ada. Seperti
buku, mobil, dan yang sejenisnya.
Kelima : Harta yang Dapat Dimiliki dan Tidak Dapat Dimiliki
Harta yang
mutlak dapat dimiliki
Yaitu harta yang dikhususkan untuk kepentingan umum. Seperti jalan umum,
jembatan dan lain sebagainya.
Harta yang
tidak dapat dimiliki kecuali atas izin syara’
Seperti harta yang telah diwakafkan. Harta wakaf tidak boleh
diperjualbelikan, kecuali dikhawatirkan atau jelas-jelas biaya pengeluaran
untuk menjaga harta wakaf itu lebih besar dari manfaat yang diperoleh.
Harta yang
dapat dimiliki
Harta ini adalah jenis harta yang tidak termasuk dalam dua kategori di
atas. Islam menganjurkan keharusan menjaga harta. Rasulullah
Saw. melarang untuk menghilangkan harta. Islam juga menyamakan kedudukan harta
milik pribadi sama dengan kedudukan harta milik umum, dalam hal memberikan
perlindungan, penjagaan dan menghormati kepemilikannya, selama tidak bertentangan
dengan kepentingan umum. Islam memandang harta sebagai salah satu bekal
kehidupan dunia. Ia merupakan salah satu sarana yang bisa mempermudah kehidupan
manusia. Sehingga harta itu tidak dicela karena digunakan pada hal-hal yang
mungkar dan diharamkan. Harta juga tidak dipuji, jika dipergunakan pada hal-hal
yang baik. Harta hanya sebagai sarana jika dipergunakan untuk kebaikan, maka ia
akan menjadi baik dan jika dipergunakan untuk keburukan maka ia akan menjadi
buruk.
Harta tidak dicela karena zatnya. Akan tetapi celaan hanya ditujukan pada
manusia yang mempergunakannya.Sehingga manusia kikir terhadap hartanya dan
dapat mempergunakannya bukan di jalan yang halal.
Manusia bisa saja tidak mempergunakan harta miliknya atau mempergunakannya
tidak sebagaimana mestinyaatau hanya untuk dibangga-banggakan. Salah seorang
bijak berkata, “Barangsiapa yang mampu
menggunakan hartanya dengan benar, maka berarti dia telah menjaga dua hal yang
mulia, yaitu agama dan kehormatan.”
Dalam Islam, harta bukan sebagai tujuan, akan tetapi sebagai sarana untuk
mendapatkan manfaat dan untuk mencapai sebuah keinginan. Barangsiapa yang
menggunakan harta dalam koridor tersebut, maka ia akan menjadi kebaikan untuk
dirinya dan masyarakat, dan barangsiapa yang menggunakannnya sebagai tujuan dan
kenikmatan, maka hartanya akan berubah menjadi syahwat yang dapat mengantarkan
dirinya melakukan kerusakan, dan membuka pintu-pintu kerusakan terhadap
manusia.[4][4]
Imam Ghazali berkata, “ Harta benda
bagaikan ular, didalamnya terdapat racun dan penangkal. Faedah-faedah harta
adalah penangkalnya, sementara bencana adalah racunnya. Barangsiapa yang
mengetahui faedah dan bencananya, maka dia akan bisa menjaga diri dari dampak
negatifnya, dan akan bisa memetik positifnya. Maka bagaimanapun, harta benda
merupakan bagian dari hiasan dunia, yang tidak dianggap hina oleh islam
sehingga oramg-orang Islam harus menjauhinya, namun Islam juga tidak
mengagungkannya, sehingga Islam memposisikannya sebagai kebanggaan orang-orang
Islam, akan tetapi Islam menjadikannya sebagai mediasi untuk melakukan
kebaikan, jika pemiliknya memang ingin menggunakannya untuk kebaikan Islam
menginginkan agar umatnya bekerja, berjuang, dan memperlakukan harta dengan
baik, agar harta bisa dimilikinya dan digunakan untuk kebaikan dirinya, umatnya
dan keluarganya. Sehingga dengan demikian perbuatannya bisa dianggap sebagai
jantung semua ibadah. Dari sini dapat kita pahami, bahwa kita dituntut agar
mengguanakan harta Allah untuk ketaatan kepada-Nya.
Hal itu dimanifestasikan dengan mendapatkan harta melalui cara yang halal
dan menafkahkan seluruh yang dikaruniakan oleh Allah di jalan-Nya , demi
mengharap ridha Allah dan akhirat tanpa melupakan keperluan duniawinya, dan
merasa bahwa Allah berbuat baik dengan melaporkan rezeki kepadanya.
Harta merupakan hadiah kebaikan dari
Allah, yang harus juga dibalas dengan kebaikan, yaitu baik dalam menerima, baik
dalam mempergunakan, baik dalam muraqobah pendekatan diri kepada Allah, baik
dalam merasakan nikmat, baik dalam bersyukur dan baik terhadap makhluk
tercermin dalam apa yang dianahkan oleh islam kepadanya, berupa norma keimanan,
etika, dan pengembangan.
C. Jenis Kepemilikan dalam Islam
Dalam masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek ekonomi mempunyai hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan ketentuan syariah.[5][5]
Dalam masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek
ekonomi mempunyai hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan syariah. Konsep kepemilikan menjadi sangat jelas dipaparkan oleh
Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya sistem ekonomi islam .
Dalam kitab ini dijelaskan bahwa Islam
membagi konsep kepemilikan menjadi : kepemilikan individu (private property);
kepemilikan public (collective property); dan kepemilikan Negara (state
property) .
a. Kepemilikan Individu ( private property )
Kepemilikan individu adalah hak individu yang diakui syariah dimana dengan
hak tersebut seseorang dapat memiliki kekayaan yang bergerak maupun tidak
bergerak. Hak ini dilindungi dan dibatasi oleh hukum syariah dan ada kontrol.
Selain itu seseorang akhirnya dapat memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan
yang dimilikinya.
Hukum syariah
menetapkan pula cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan pada seseorang,
yaitu dengan:
1) Bekerja
2) Pewarisan
3) Kebutuhan
akan harta untuk menyambung hidup
4) Pemberian
Negara
5) Harta yang
diperoleh tanpa usaha apapun
Hukum syariah
juga membatasi pemanfaatan harta dalam hal: menghambur-hamburkan harta di jalan
yang terlarang seperti melakukan aktifitas suap, memberikan riba/bunga, membeli
barang dan jasa yang diharamkan seperti miras/pelacuran. Melarang transaksi
dengan cara: penipuan, pemalsuan, mencuri timbangan/ ukuran. Dan juga melarang
aktifitas yang dapat merugikan orang lain seperti menimbun barang untuk
spekulasi.
Islam juga
menuntunkan prioritas pemanfaatan harta milik individu, bahwa pertama-tama
harta harus dimanfaatkan untuk perkara yang wajib seperti untuk member nafkah
keluarga, membayar zakat, menunaikan haji, membayar utang dan lain-lain.
Berikutnya dimanfaatkan untuk pembelanjaan yang disunahkan seperti sedekah,
hadiah. Baru kemudian yang mubah.
Aturan Islam
juga berbicara tentang bagaimana sesorang akan mengembangkan harta. Antara lain
dengan jalan yang sah seperti jual beli, kerja sama usaha (syarikah) yang
Islami dalam bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan dan jasa. Dan
juga larangan pengembangan harta seperti memungut riba, judi, dan investasi di
bidang yang haram seperti membuka rumah bordir, diskotik dan lain-lain.
Kepemilikan
publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah
bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim.
Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun
terlarang memilikinya secara pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik:
1. Sarana umum yang
diperlukan oleh seluruh warga Negara untuk keperluan sehari-hari seperti air,
saluran irigasi, hutan, sumber energy, pembangkit listrik dll.
2. Kekayaan yang aslinya
terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai,
danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll.
3. Barang tambang (sumber
daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau
besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).
Seperti dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah
« الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْكَلإِ وَالْمَاءِ
وَالنَّارِ »
Hak pengelolaan
kepemilikan umum (milkiyah amah) ada pada masyarakat secara umum yang dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Negara karena Negara adalah wakil rakyat. Negara
harus mengelola harta milik umum itu secara professional dan efisien.
Meskipun Negara
memiliki hak untuk mengelola milik umum, ia tidak boleh memberikan hak tersebut
kepada individu tertentu. Milik umum harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
kepada masyarakat luas.
Pemanfaatan
kepemilikan umum dilakukan dengan dua cara yaitu: pertama: jika memungkinkan,
individu dapat mengelolanya maka individu tersebut hanya diperkenankan sekedar
mengambil manfaat barang-barang itu dan bukan memilikinya.
Misal
memanfaatkan secara langsung milik umum seperti air, jalan umum dan lain-lain.
Kedua, jika tidak mudah bagi individu untuk mengambil manfaat secara langsung
seperti gas dan minyak bumi, maka Negara harus memproduksinya sebagai wakil
dari masyarakat untuk kemudian hasilnya diberikan secara cuma-cuma kepada
seluruh rakyat, atau jika dijual hasilnya dimasukkan ke bait al-mal (kas
Negara) untuk kepentingan masyarakat.
c. kepemilikan Negara ( state Property )
Milik Negara
adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi
wewenang khalifah semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya. Sebagai
pihak yang memiliki wewenang, ia bisa saja mengkhususkannya kepada sebagian
kaum muslim, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini
adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Termasuk dalam
hal ini adalah padang pasir, gunung, pantai, tanah mati yang tidak dihidupkan
secara individual, semua tanah ditempat futuhat yang tidak bertuan yang
ditetapkan oleh khalifah/kepala Negara menjadi milik bait al-mal dan setiap
bangunan yang dibangun oleh Negara dan dananya berasal dari bait al-mal.
Meskipun harta
milik umum dan milik Negara pengelolaannya dilakukan Negara, keduanya berbeda.
Harta milik
umum pada dasarnya tidak boleh diberikan Negara kepada siapapun, meskipun
Negara dapat membolehkan orang-orang untuk mengambil manfaatnya. Adapun
terhadap milik Negara, khalifah berhak untuk memberikan harta tersebut kepada
individu tertentu sesuai dengan kebijakannya.
D. Pemanfaatan dan Pengembangan Kepemilikan
a. Pemanfaatan
Kepemilikan
Kepemilikan
akan harta tentu dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan tersebut dan larangan
memiliki kekayaan tanpa dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan itu. Kekayaan
yang dibiarkan tanpa dimanfaatkan akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan
dan produktifitas perekonomian.
Bentuk-bentuk
pengaturan mengenai pengelolaan kekayaan mencakup tatacara pembelanjaan dan
tatacara pengembangannya. Islam menghendaki agar siapapun ketika mengelola
harta melakukannya dengan cara sebaik mungkin.[6][6]
Prioritas utama
yang dilakukan terkait dengan pengelolaan harta adalah mengkonsumsi habis,
khususnya menyangkut barang yang habis pakai seperti makanan dan minuman. Atau
mengkonsumsi dalam arti sekedar mengambil manfaat dari harta seperti pakaian,
rumah, mobil dan sebagainya.
Setiap muslim
harus tunduk mengikuti hukum-hukum syariah yang terkait dengan hal tersebut.
Mengingat dalam Islam setiap semua bentuk pemanfaatan akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak. Terkait dengan harta,
pertanggungjawaban yang diberikan meliputi dua perkara; tidak hanya untuk apa
harta itu digunakan dan dari mana harta didapat. Sehingga dalam hal ini
pengaturan pemanfaatan tersebut digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu
pemanfaatan yang dihalalkan dan pemanfaatan yang diharamkan dalam islam.
·
Pemanfatan
kepemilikan yang dihalalkan
Pengembangan kepemilikan ini terkait dengan hukum-hukum di dalam Islam. Ada
yang bersifat wajib seperti nafkah, dan keperluan ibadah/zakat. Bersifat sunnah
seperti hibah, hadiah dan sedekah. Dan mubah seperti untuk keperluan rekreasi
dan lain-lain.
·
Pemanfaatan
kepemilikan yang dilarang
Ada anjuran di
dalam islam untuk tidak memanfaatkan harta dalam aktifitas israf dan tadzbir,
taraf (berfoya-foya), taqtir (kikir), menyuap, dan untuk tindakan kedzaliman.
b. Pengembangan
kepemilikan
Pengembangan
kepemilikan terkait dengan suatu mekanisme atau cara yang akan digunakan untuk
menghasilkan pertambahan kepemilikan harta. Misalnya apakah dengan cara
diinvestasikan dalam sebuah perusahaan, untuk modal perdagangan, atau malah
dilarikan untuk perjudian.
1) Pengembangan kepemilikan dalam islam
Pengembangan
kepemilikan tidak dapat dilepaskan dari hukum-hukum yang terkait dengan masalah
pertanian, perdagangan, dan industry serta jasa. Syariah Islam menjelaskan
hukum-hukum seputar perdagangan seperti jual-beli, persyarikatan dan
sebagainya; serta telah menjelaskan hukum seputar industry dan jasa atau ijarah al-ajir. Pengembangan kepemilikan
dalam islam pada dasarnya diberikan kebebasan untuk mengembangkannya selama
tidak terkait dengan larangan.
2) Pengembangan kepemilikan yang dilarang
Dalam sistem
ekonomi Islam, masalah pengembangan kepemilikan terikat dengan hukum-hukum
tertentu yang tidak boleh dilanggar.
Syariah islam
melarang pengembangan harta dalam hal :
a. Perjudian
b. Riba
c. Al-Ghabn al-Fahisy /trik keji
d. Tadlis/penipuan
e. Penimbunan
f. Mematok harga
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik Allah, manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau pemberian dari Allah. Manusia menggunakan harta berdasarkan kedudukannya sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah Swt.
Semoga apa yang di sampaikan dalam makalah ini dapat membantu kita semua
dalam memahami bagaimana cara Pandang Islam tentang Kepemilikan Harta.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan Kartajaya & Muhammad Syakir
Sula.2006. Syariah Marketing.Bandung, Mizan.
DR.Asyraf
Muhammad Dawwabah. 2008. Meneladani Keunggulan Bisnis Rasulullah.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Muhammad & Alimi. 2005. Etika dan
Perlindungan konsumen dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta,BPFE.
Nurul huda & Mustafa Edwin Nasution. 2007. Investasi
pada Pasar Modal Syari’ah. Jakarta, Media Group.
Muhammad.2004. Etika Bisnis Islam.Yogyakarta, UPP-AMP-YKPN.
M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Wijayakusuma. Menggagas Bisnis Islami.
[1][1] Nurul Huda & Mustafa Edwin Nasution,
Investasi Pada Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Media Group, 2007), hlm 1
[2][2] Asyaraf
Muhammad Dawwabah, Meneladani Bisnis
Rasulullah, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2008),hlm 1
[3][3] Asyaraf Muhammad Dawwabah, Meneladani Bisnis Rasulullah, (
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2008),hlm 2
[4][4] Muhammad & Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam
Ekonomi Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2006),hlm 149.