Pengertian mengenai perikatan bersyarat,
Telah tercantum dalam Pasal 1253, bahwa suatu perikatan adalah bersyarat manakala Ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi , baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Apabila diperhatikan, maka yang diartikan syarat disini adalah peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu akan terjadi.
Telah tercantum dalam Pasal 1253, bahwa suatu perikatan adalah bersyarat manakala Ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi , baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Apabila diperhatikan, maka yang diartikan syarat disini adalah peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu akan terjadi.
Perikatan bersyarat dilawankan dengan perikatan murni, yaitu perikatan yang tidak mengandung sesuatu syarat. Syarat didalam bahasa hukum digunakan dalam berbagai-bagai pengertian, dapat diartikan syarat perjanjian (contractbeding), syarat yang menentukan daya kerja dari perikatan , dapat pula peristiwa itu sendiri ataupun tidak terjadinya suatu peristiwa yang mengakibatkan menangguhkan atau membatalkan perikatan.
Adanya peristiwa (syarat) didalam perikatan tidak memerlukan pernyataan tegas dari para pihak, tetapi suatu syarat itu ada dalam perikatan, apabila dari keadaan dan tujuan perikatan terlihat dan ternyata adanya syarat itu. Syarat yang demikian disebut syarat diam.
Adanya peristiwa (syarat) didalam perikatan tidak memerlukan pernyataan tegas dari para pihak, tetapi suatu syarat itu ada dalam perikatan, apabila dari keadaan dan tujuan perikatan terlihat dan ternyata adanya syarat itu. Syarat yang demikian disebut syarat diam.
Pengertian tentang perikatan bersyarat adalah sebagai berikut :
1. Syarat yang tidak mungkin atau tidak pantas.
Menurut Pasal 1254, bahwa semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tidak ungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal, dan berakibat bahwa persetujuan yang
digantungkan padanya tidak berdaya.
2. Syarat yang tidak mungkin terlaksana .
Menurut Pasal 1255, bahwa syarat yang bertujuan tidak melakukan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana, tidak membuat perikatan yang digantungkan padanya, tidak berdaya.
Undang-undang menentukan syarat-syarat yang tidak boleh dicantumkan pihak didalam suatu perikatan. Apabila syarat itu dicantumkan, maka perikatan tersebut batal. Syarat-syarat tersebut adalah:
a) bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana (Pasal 1254 KUHPerdata),
b) bertentangan dengan kesusilaam,
c) dilarang undang-undang (Pasal 1254 KUHPerdata),
d) pelaksanaannya bergantung dari kemauan orang yang terikat.
3. Syarat yang pelaksanaannya digantungkan pada salah satu pihak (Potestatif).
Syarat prostetif adalah syarat-syarat yang pelaksanaannya bergantung dari kemauan salah satu pihak yang terikat didalam perikatan. Menurut Pasal 1256, bahwa semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata bergantung pada kemauan orang yang terikat, tetapi jika perikatan bergantung pada suatu perbuatan yang pelaksanaannya berada didalam kekuasaan orang tersebut, padahal perbuatan itu sudah terjadi, perikatan adalah sah.
4. Syarat yang dimaksud oleh pihak-pihak.
Menurut Pasal 1257, bahwa semua syarat harus terpenuhi secara yang mungkin dikehendaki dan dimaksudkan oleh kedua belah pihak. Maksud ketentuan ini ialah bahwa apabila terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian syarat, maka arti dan maksud syarat harus ditentukan dengan penafsiran sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pihak-pihak.
5. Syarat dengan ketetapan waktu (syarat positif)
Pengertian dari syarat positip, karena digantungkan pada peristiwa yang akan datang dan belum pasti terjadi. Menurut Pasal 1258, bahwa jika suatu perikatan bergantung pada syarat bahwa sesuatu peristiwa akan terjadi didalam suatu waktu tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada, apabila waktu tersebut telah lampau dengan tidak terjadinya peristiwa tersebut. Jika waktu tidak ditentukan, maka syarat tersebut setiap waktu dapat terpenuhi dari syarat itu tidak dianggap tidak ada sebelum ada kepastian bahwa peristiwa tidak akan terjadi. Misalnya A akan membayar utangnya kepada B kalau rumah A laku dijual.
6. Syarat negatif (digantungkan pada suatu peristiwa tidak akan terjadi didalam suatu waktu tertentu).
Menurut Pasal 1259, bahwa jika suatu perikatan bergantung pada suatu syarat bahwa sesuatu peristiwa didalam suatu waktu tertentu tidak akan terjadi, maka syarat tersebut telah terpenuhi apabila waktu tersebut lampau dengan tidak terjadinya peristiwa. Begitu juga syarat telah terpenuhi, jika sebelum waktu tersebut lampau, telah ada kepastian bahwa peristiwa tidak akan terjadi , tetapi jika tidak ditetapkan suatu waktu, syarat itu tidak terpenuhi sebelum ada kepastian bahwa peristiwa tersebut tidak akan terjadi.
7. Syarat terpenuhi jika debitur menghalangi terpenuhinya syarat itu.
Menurut Pasal 1260, bahwa syarat dianggap terpenuhi jika si berutang yang terikat olehnya telah menghalang-halangi terpenuhinya syarat itu.
Didalam ketentuan ini, pembentuk undang-undang berpedoman kepada itikad baik yang tidak dijunjung tinggi oleh debitur, sehingga pembenmtuk undang-undang dalam hal ini menciptakan suatu anggapan bahwa syarat itu telah terjadi, dengan demikian maka keseimbangan kedudukan antara debitur dan kreditur tetap terjamin.
8. Syarat tangguh yang terpenuhi
Pasal 1261, menyatakan bahwa apabila syarat telah terpenuhi, maka syarat itu berlaku surut hingga saat lahirnya perikatan. Jika si berpiutang meninggal sebelum terpenuhinya syarat, maka hak-haknya karena itu berpindah kepada ahli warisnya.
Pengertian dalam berlaku surut, adalah dalam hal syarat batal terjadi, maka kekuatan berlaku surut itu mempunyai daya kerja kebendaan. Maksudnya :
a) bahwa kekuatan berlaku surut itu mempunyai daya kerja kebendaan (zakelijke werking), maka dengan terjadinya syarat batal, debitur berhak menuntut benda yang telah diserahkannya terhadap setiap pihak yang menguasai miliknya itu,
b) bahwa kekuatan berlaku surut itu mempunyai daya kerja pribadi (persoonlijk), maka dengan terjadinya syarat batal, debitur tidak dapat menuntut benda yang telah diserahkan, yang dikuasai pihak ketiga.
9. Hak kreditur mengadakan persiapan (konservation)
Dinyatakan dalam pasal 1262 bahwa si berpiutang dapat, sebelum terpenuhinya syarat melakukan segala usaha yang perlu untuk menjaga jangan sampai haknya hilang.
10. Syarat tangguh
Dalam pasal 1263 dinyatakan bahwa suatu perikatan dengan suatu syarat tangguh adalah suatu perikatan yang bergantung pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi , atau yang bergantung pada suatu hal yang sudah terjadi tetapi tidak diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam hal yang pertama, perikatan tidak dapat dilaksanakan sebelum, peristiwa telah terjadi dalam hal yang kedua perikatan mulai berlaku sejak hari Ia dilahirkan. Pada perikatan dengan syarat tangguh ini, pemenuhan perikatan itu hanya dapat dituntut oleh kreditur apabila syarat tangguh tersebut telah terpenuhi. Selama syarat itu belum dipenuhi , maka kewajiban berprestasi oleh debitur belum lagi ada , walaupun hubungan hukum antara pihak-pihak tetap ada. Jadi, syarat tangguh menyebabkan suatu perikatan belum lagi mempunyai daya kerja atau pemenuhan perikatan itu belum lagi dapat dilaksanakan . Daya kerja perikatan itu belum lagi pasti , masih bergantung pada terjadinya suatu peristiwa.
11. Resiko pada perikatan dengan syarat tangguh
Pada pasal 1264, dikatakan bahwa jika perikatan bergantung pada suatu syarat tangguh, maka barang yang menjadi pokok perikatan tetap menjadi tanggungan si berutang, yang hanya berwajib menyerahkan barang itu apabila syarat terpenuhi. Jika barang tersebut sama sekali musnah di luar kesalahan si berutang, maka baik pada pihak yang satu maupun pada pihak yang lainnya tidak ada lagi suatu perikatan. Jika barangnya merosot, harganya diluar kesalahan si berutang, maka si berpiutang dapat memilih apakah Ia akan memutuskan perikatan ataukah menuntut penyerahan barangnya di dalam keadaan dimana barang itu berada, dengan tidak ada pengurangan harga yang dijanjikan. Jika barangnya merosot harganya karena kesalah si berutang, maka si berpiutang berhak memutuskan perikatan atau menuntut penyerahan barangnya di dalam keadaan di mana barang itu berada, dengan penggantian kerugian.
12. Keadaan memaksa dalam perjanjian bersyarat
Undang-undang dalam hal adanya keadaan memaksa, menentukan resiko ada pada debitur, yang wajib menyerahkan barang, apabila syarat terpenuhi. Apabila benda yang diperjanjikan musnah seluruhnya, diluar kesalahan debitur, maka resiko menjadi beban dari kedua belah pihak dan perikatannya berakhir. Apabila harga barang merosot di luar kesalahan debitur, maka kreditur dapat memilih tindakan sebagai berikut :
(a) memutuskan perikatan , atau
(b) menuntut penyerahan barangnya di dalam keadaan dimana barang itu berada, dengan tidak adanya pengurangan harga yang telah dijanjikan.
- Apabila harga barang merosot karena kesalahan debitur maka kreditur dapat memilih antara : (a)memutuskan perikatan, atau
(b) menuntut penyerahan barangnya di dalam keadaan dimana barang itu berada, dengan pergantian kerugian. Kita lihat, ukuran yang dipergunakan pembentuk undang-undang dalam mengatur akibat-akibat yang timbul karena adanya keadaan memaksa ini adalah "kepatuhan".
13. Syarat Batal
Menurut pasal 1265, suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan ; hanyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
Menurut pasal 1265, suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan ; hanyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
14. Ingkar janji adalah syarat batal dalam perjanjian timbal balik.
Pada pasal 1266, syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewjibannya. Dalam hal yang demikian, persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa (discretionnaire functie) untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Pengaturan tentang syarat batal dalam perjanjian timbal balik dijelaskan secara khusus dalam pasal 1266 dan pasal 1267 KUHPerdata. Undang-undang tersebut menentukan bahwa syarat yang membatalkan perjanjian timbal balik adalah kalau salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya (ingkar janji). Ketentuan dalam pasal 1266 KUHPerdata menarik perhatian, karena di dalamnya banyak terkandung kelemahan-kelemahan yang kadang-kadang satu sama lain mempunyai sifat yang bertentangan, sebagai terlihat dalam ayat-ayat berikut :
a) Ayat 1, menyatakan bahwa syarat batal (vervalbeding) dianggap selamanya ada didalam perjanjian timbal balik.
b) Ayat 2, menyatakan pula bahwa syarat batal itu tidak membatalkan perjanjian dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan kepada hakim.
c) Ayat 3, menyatakan bahwa permintaan itu juga dilakukan walaupun syarat batal itu dinyatakan didalam perjanjian
d) Ayat 4, menyatkan bahwa dalam hal syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian. Hakim leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan tergugat memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya.
Apabila undang-undang diatas diteliti ayat demi ayat, maka sifat yang bertentamngam itu akan terlihat, sebagai berikut :
a) Materi yang diatur dalam ayat (1) dan ayat (2). Ayat pertama menyatakan bahwa syarat batal itu dianggap selalu ada didalam perjanjian timbal balik, tetpi ayat (2) menyatakan bahwa kalau syarat batal terjadi, perjanjian itu tidak batal dengan sendirinya, melainkan harus diucapkan oleh hakim.
b) Pembentuk undang-undang memandang atau meletakkan sayarat dan kewajiban memenuhi prestasi itu dalam kedudukan yang sederajat.
c) Apabila syarat batal, maka segala sesuatu kembali kekeadaan semula. Ketentuan ini mengandungkelemahan karena tidak mendekati keadilan. Pihak yang tidak lalai dibebani pula dengan suatu kewajiban untuk menerima kembali segala apa yang mungkin telah diserahkannya.
Kebijaksanaan hakim (discretionnaire functie) untuk memberikan jangka waktu tertentu (term de grace) dimana debitur mendapat kesempatan untuk memenuhi prestasi (Pasal 1266 ayat (4)) tidak selaras dengan otomatis berlakunya syarat yang membatalkan.
a) Ayat 1, menyatakan bahwa syarat batal (vervalbeding) dianggap selamanya ada didalam perjanjian timbal balik.
b) Ayat 2, menyatakan pula bahwa syarat batal itu tidak membatalkan perjanjian dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan kepada hakim.
c) Ayat 3, menyatakan bahwa permintaan itu juga dilakukan walaupun syarat batal itu dinyatakan didalam perjanjian
d) Ayat 4, menyatkan bahwa dalam hal syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian. Hakim leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan tergugat memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya.
Apabila undang-undang diatas diteliti ayat demi ayat, maka sifat yang bertentamngam itu akan terlihat, sebagai berikut :
a) Materi yang diatur dalam ayat (1) dan ayat (2). Ayat pertama menyatakan bahwa syarat batal itu dianggap selalu ada didalam perjanjian timbal balik, tetpi ayat (2) menyatakan bahwa kalau syarat batal terjadi, perjanjian itu tidak batal dengan sendirinya, melainkan harus diucapkan oleh hakim.
b) Pembentuk undang-undang memandang atau meletakkan sayarat dan kewajiban memenuhi prestasi itu dalam kedudukan yang sederajat.
c) Apabila syarat batal, maka segala sesuatu kembali kekeadaan semula. Ketentuan ini mengandungkelemahan karena tidak mendekati keadilan. Pihak yang tidak lalai dibebani pula dengan suatu kewajiban untuk menerima kembali segala apa yang mungkin telah diserahkannya.
Kebijaksanaan hakim (discretionnaire functie) untuk memberikan jangka waktu tertentu (term de grace) dimana debitur mendapat kesempatan untuk memenuhi prestasi (Pasal 1266 ayat (4)) tidak selaras dengan otomatis berlakunya syarat yang membatalkan.
Pembentuk undang-undang memberikan kesempatan kepada hakim atas dasar pemikiran untuk memberikan kemungkinan kepada hakim menilai dan mengawasi wanprestasi , yakni apakah kesalahan tersebut tidak lebih dahulu berasal dari kreditur sendiri. Apabila sebab tidak dipenuhinya prestasi itu adalah karena kreditur sendiri terlebih dahulu sudah melakukan ingkar janji maka debitur dapat mengajukan tangkisan mengenai keadaan ini kepada hakim hingga hakim dapat memberikan keputusan lain (exeptie non adimpleti contractus).
Apabila pada perjanjian timbal balik dengan syarat batal itu hakim mengabulkan gugatan kreditur untuk memutuskan perikatahn karena terjadinya wanprestasi, timbul persoalan tentang sifat dari keputusan hakim tersebut. Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu :
1) menyatakan bahwa sifat dari keputusan hakim itu adalah deklaratoir. Dalam hal ini berarti putusnya perikatan itu adalah disebabkan karena adanya wanprestasi itu sendiri.
2) Menyatakan bahwa sifat dari keputusan hakim itu adalah konstitutif, artinya bahwa putusannya bukan karena adanya wanprestasi, tetapi karena adanya putusan hakim.
15. Hak Kreditur Terhadap Debitur yang Ingkar Janji
Masalah ini dinyatakan dalam Pasal 1267, bahwa pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah Ia, jika itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, apakah Ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Sumber pustaka : Mariam,D.B., Sutan Remy .S., Heru.S., Faturrahman Dj., dan Taryana Soenandar. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan., Ed. Pertama., Citra Aditya Bakti., Bandung